Mendefinisikan Ulang Pola Pembelajaran Daring, Antara Sharing Knowledge dan Transfer Etika

Penulis : Fauzan Romadlon

Dunia sedang mengalami krisis kesehatan berupa wabah virus covid-19 atau yang akrab disebut virus corona. Menurut yang diberitakan dari berbagai sumber, virus ini berawal dari Wuhan, China dan sekarang telah mewabah dan menyebar di seluruh penjuru dunia. Di Indonesia sendiri, terdapat sebuah keunikan. Hal tersebut dikuatkan dengan narasi-narasi tidak ilmiah yang disampaikan oleh pimpinan negara baik itu Menteri hingga seorang Wakil Presiden yang menyatakan bahwa virus corona kebal terhadap bangsa Indonesia. 

Narasi tidak ilmiah tersebut antara lain ucapan Menko Perekonomian yang menyatakan bahwa Indonesia mempunyai perizinan yang berbelit-belit sehingga corona tidak bisa masuk Indonesia. Ada lagi Menteri Perhubungan yang menyatakan bahwa corona tidak masuk Indonesia karena masyarakat Indonesia doyan nasi kucing. Ditambah lagi pernyataan Wakil Presiden yang mengatakan bahwa berkat doa para kiai dan bacaan qunut, corona menyingkir dari Indonesia. 

Parahnya lagi, pada tanggal 26 Februari 2020, Presiden menggelontorkan dana 72 miliar rupiah untuk mendorong industri pariwisata dan mengaktifkan buzzer media sosial untuk menangkal ketakutan warga akibat corona. Hal ini sangat bertentangan dengan negara-negara tetangga dimana mereka telah preventif untuk menutup pintu-pintu masuk baik bandara udara maupun pelabuhan laut sebagai titik utama mobilitas manusia dalam usaha pencegahan virus corona. Sebelumnya, pada tanggal 11 Februari 2020 peneliti Harvard sudah memprediksi bahwa virus ini sudah masuk ke Indonesia tetapi para pemimpin masih belum tersentil dengan pernyataan ilmiah tersebut bahkan terlihat mengacuhkan.

Hari yang dinanti pun tiba, tepat tanggal 2 Maret tahun 2020 Indonesia digemparkan dengan berita bahwa ada warganya yang telah terinfeksi virus corona. Pemerintah mengkonfirmasi kasus pertama infeksi virus corona di Indonesia. Pemerintah sendiri seolah merasa gelagapan dan merasa belum siap dengan apa yang sedang dihadapi. 

Pada prosesnya, pemerintah menunjuk juru bicara dari Kementerian Kesehatan untuk mengungumkan data orang yang terinfeksi virus meliputi yang sembuh, meninggal, dan dalam perawatan setiap harinya. Akhir-akhir ini pemerintah baru saja membuka data secara confidence jumlah orang yang terinfeksi meliputi data Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Orang Dalam Pengawasan (ODP), data orang yang meninggal, sembuh, dan terinfeksi baru. 

Uniknya, data tersebut hanyalah data statistik saja, yang membuat orang semakin panik tanpa ada arahan yang jelas hingga ke akar rumput bahkan tidak sedikit yang mengacuhkan. Pemerintah seolah melupakan bahwa kasus corona ini membutuhkan informasi yang bersumber dari data yang terintegrasi, sehingga pencegahan dapat dilakukan dan penyebarannya dapat dikendalikan. Di sisi lain, pemerintah menghadapi kendala terhambatnya pertumbuhan ekonomi, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masal, beberapa kenaikan harga pangan, dan nilai tukar rupiah yang semakin lemah terhadap dollar Amerika Serikat.

Akhirnya, semua elemen kehidupan masyarakat Indonesia terimbas virus corona ini. Semua elemen kehidupan bangsa yang meliputi kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan politik. 

Elemen kehidupan yang tertata sedemikian rupa sehingga dipaksa untuk “berpuasa” selama masa krisis corona ini. Puasa di sini dapat diartikan sebuah perilaku atau pekerjaan menahan ditengah kebiasaan menumpahkan, atau mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan. Pada skala yang besar akan ditemukan dengan sebuah tesis ekonomi-industri-konsumsi yang mengajak manusia untuk melampiaskan, sementara puasa itu sendiri mengajak untuk menahan dan mengendalikan (Nadjib, 2012).

Jelas sekali dilihat, awalnya banyak orang yang suka nongkrong di kafe atau di tempat kerumunan, sekarang mereka dipaksa berpuasa yaitu dengan berdiam di rumah. Bagi yang keseharian berangkat ke kantor, dipaksa berpuasa yaitu bekerja dari rumah. Bagi yang berdagang keliling pun dipaksa berpuasa yaitu sementara waktu untuk berdagang di rumah. 

Resepsi pernikahan saja yang sudah direncanakan jauh-jauh hari, banyak yang terpaksa untuk me-reschedule tanggal resepsinya agar tidak menimbulkan kerumunan massa. Lebih lanjut lagi, aktifitas peribadatan yang biasanya ditunjukkan dengan berkumpulnya massa yang banyak di sebuah rumah ibadah, dipaksa untuk diselenggaraan di rumah saja. Semuanya itu bertujuan untuk mengurangi dan preventif terhadap penyebaran virus corona.

Hal ini pula terjadi pada dunia pendidikan. Proses belajar mengajar dipaksa berpuasa yaitu dilakukan secara daring dari rumah masing-masing. Guru atau dosen (pendidik) dan siswa atau mahasiswa (peserta didik) dipaksa untuk melakukan kegiatan belajar mengajar atau perkuliahan dari rumah masing-masing. Faktanya, terdapat ketidaksiapan baik fisik, infrastruktur maupun psikologis sehingga kegiatan tersebut hanyalah pemberian tugas kepada peserta didik dan meminta mereka mengumpulkan dalam kurun waktu tertentu. Tugas memang sebuah kewajaran dalam proses pemebelajaran, akan tetapi akan menjadi tidak wajar bila dipaksakan demi mengejar sebuah absensi pertemuan atau perkuliahan.

Kepanikan yang dirasakan oleh pemerintah sama paniknya dengan apa yang dirasakan di dunia pendidikan. Banyak sekolah-sekolah yang belum menyiapkan instrument dan infrastruktur daring demi menggelar proses kegiatan belajar di rumah. Kalaupun ada, beberapa peserta didik masih merasakan kesulitan dalam mengakses pemebelajaran daring dikarenakan perangkat yang masih minim, jaringan yang belum menjangkau wilayah tempat tinggalnya, atau keterbatasan kuota atau paket data. Bagaikan memakan buah simalakama, penerapan kegiatan belajar dari rumah dengan metode daring ini menjadi sebuah stressor baru bagi dunia pendidikan kita.

Ada beberapa hal yang menjadi catatan selama kegiatan belajar dari rumah dengan pemberian tugas. Salah satunya adalah pendidik melupakan bahwa sekarang mereka hidup dalam kondisi wabah atau bencana, sehingga peluang adanya stres, kecemasan dan gangguan psikologis lainnya akan meningkat. 

Jadi bila hendak memberikan tugas, perlu diperhatikan suatu istilah yaitu janganlah menambah penderitaan diatas penderitaan. Maksudnya adalah, pemberian tugas hendaknya manusiawi dan mampu mengukur kemampuan peserta didiknya. Di sekolah atau di kampus yang semuanya tersistem dengan rapi akan berbeda keadaan bila peserta didik berada di luar kampus atau di rumah yang dimana hal tersebut berada di luar sistem dan terkadang sulit untuk dikendalikan.

Teknologi informasi pada pembelajaran daring hanyalah sebuah tools. Beberapa penggunaan tools tersebut telah banyak dilakukan, salah satunya adalah pada kegiatan aplikatif pada pendidikan yang bersifat non formal dalam pencegahan korupsi. Miswanto dan Badrul (2016) membuat sebuah aplikasi pembelajaran berbasis android bagi remaja. 

Aplikasi ini berisi tentang info seputar permasalahan korupsi sehingga dapat menjadi sumber pengetahuan tambahan tentang pendidikan anti korupsi. Lebih lanjut lagi, Darmawan dan Bonafix (2011) mendesain sebuah permainan interaktif tentang penanaman antikorupsi sejak dini. Permainan tersebut memberikan ilustrasi yang menarik sehingga meningkatkan minat anak usia dini belajar memahami tindakan-tindakan anti korupsi. Kedua contoh tersebut merupakan sebuah pemanfaatan tools dalam penanaman etika meskipun belum dimasukkan ke dalam kurikulum.

Beberapa pilihan tools pembelajaran daring sebenarnya telah dipersiapkan dengan baik oleh berbagai pengembang aplikasi. Sebut saja google meet, zoom, webex untuk aplikasi model seminar dan google classroom atau e-learning sekolah atau kampus untuk aplikasi unggah dan membagi materi pembelajaran. Pada implementasinya, beberapa peserta didik yang cenderung malu ketika proses belajar daring ini. Beberapa pendekatan yang dilakukan adalah mereka dipersilakan untuk bertanya di forum melalui menu chatting yang tersedia dan bila masih sungkan dalam bertanya, mereka diberi kesempatan untuk mengirimkan pesan pribadi ke pendidik. 

Permasalahan lain yang timbul adalah keterbatasan kuota ini saat pmebelajaran dengan model seminar dan mereka diharuskan stay dengan terus mantengin laptop atau handphone. Bila peserta didik berkuota terbatas, mereka akan mengalami pemborosan kuota. Salah satu pendekatan solusinya adalah dengan pemberian materi dengan deskripsi yang jelas dengan sarana pendukung seperti tambahan suara atau video kemudian diupload pada e-learning atau platform lain yang sesuai. Kemudian peserta didik diperintahkan untuk membaca dan saat sesi webinar pendidik dan peserta didik dapat bertemu dan saling review sehingga webinar dapat berjalan sesuai kebutuhan baik waktu maupun konten materinya.

Tantangan paling berat adalah pada pelajaran praktik atau mata kuliah praktikum. Pelajaran ini mempunyai dua pilihan antara ditiadakan dan ditunda. Akan sangat sulit bila digantikan dengan simulasi komputer yang mengharuskan sekolah harus menyediakan kebutuhan software-nya dan memberikan akses kepada peserta didik untuk belajar berdasarkan simulasi. Hal ini perlu dilakukan kajian ulang guna mencari solusi terbaik. Selain itu, tantangan lain adalah adanya plagiarisme dalam pengumpulan tugas. Plagiarisme ini dapat dilakukan karena kontrol yang rendah dan biasanya beban tugas yang sangat tinggi. Pendidik perlu meyiasati dengan berbagai pertimbangan sehingga memudahkan dalam proses dan tidak menambah kecemasan dan penderitaan.

Memang, pendidikan yang diterapkan di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Pendidikan kita masih berkutat pada cita-cita kapitalis dan industri yang mengharapkan lulusannya mencari pekerjaan dan keuntungan berupa materi setelah lulus. Keuntungan ini diperoleh dengan bekerja sesuai dengan apa yang dia pelajari bukan melakukan sesuatu sesuai kemampuan yang telah ditekuni. Jadi jangan heran bila setelah lulus, banyak sarjana yang bekerja tidak sesuai bidangnya bahkan banyak yang masih mencari lapangan pekerjaan. Hal ini masih menimbulkan tanda tanya besar bagi sistem pendidikan kita.

Sebagai sebuah analogi, kita tidak akan mampu memaksa belalang untuk berlari seperti anjing sedangkan anjing dipaksa untuk melompat seperti belalang. Anjing dan belalang mempunyai kemampuan individu yang diberikan Tuhan untuk mengarungi hidupnya masing-masing di dalam habitatnya. Sama seperti manusia, mereka dituntut untuk menjadi apa tanpa mengetahui dirinya siapa. Padahal tujuan utama pendidikan adalah menemukan hakikat hidup manusia. Maksudnya adalah manusia terus mencari dan menemukan apa yang Tuhan telah karuniakan kepadanya.

Konsep pendidikan yang kita kenal hingga saat ini adalah pedagogi yang secara bahasa adalah seni megajar atau mendidik anak-anak. Sedewasanya seorang peserta didik, akan kita posisikan sebagai anak yang butuh bimbingan. Lawannya adalah andragogi yang mempunyai arti bahwa pendidikan yang berlandaskan pada konsep diri. Maksudnya adalah kesungguhan dan kematangan diri seseorang itu adalah perubahan dari ketergantungan total ke arah pengembangan diri, sehingga mampu mengarahkan dirinya dengan baik dengan adanya peran pengalaman dan kesiapan belajar dalam proses pendidikan (Yamin, 2009). Hal inilah yang perlu kita tanamkan pada peserta didik sehingga dalam kondisi wabah ini, mereka masih bisa berpikir jernih dengan konsep hadap masalah.

Salah satu cara pendekatan yang baik saat wabah seperti ini adalah mendidik peserta didik dengan tidak menyembunyikan permasalahan. Sebagai contoh, seorang anak Tionghoa meminta tambahan uang saku kepada bapaknya. Lantas sang bapak yang merupakan seorang konglomerat memberikan sebuah pesan kepada anaknya dengan mengatakan,” Sudah bagus bapa kasih begitu!”. Keluarga Tionghoa tersebut memberikan pembelajaran berupa hadap masalah kepada anaknya untuk mampu menyelesaikan permasalahannya sendiri. Berbeda dengan bangsa kita yang lebih banyak memanjakan peserta didik kita. 

Diibaratkan bila hujan datang, kita akan berlomba-lomba untuk memberikan payung agar mereka tidak kehujanan. Akan berbeda bila kita menyuruh menyuruh mereka mengambil benda yang mampu melindungi dari hujan syukur-syukur mereka mampu menjadi ojek payung dengan segala keterbatasannya. Oleh karena itu, sebagai pendidik harus siap dengan konsep hadap masalah dan mencoba mengarahkan mereka mencari solusinya sendiri (Rusfi, dkk., 2018). Itulah sebenarnya tujuan pendidikan yang dicita-citakan oleh seorang Paulo Freire, sang pejuang pendidikan dari Brazil yaitu engan mengubah wajah masyarakat dari berpikiran magis dan naif menjadi masyarakat yang berpikiran kritis (Freire, 2000).

Memang, sistem pendidikan kita masih jauh dari kata sempurna. Jarang sekali kita mengkonsep pendidikan berdasarkan landasan-landasan yang telah digariskan oleh founding father kita. Sebut saja Ki Hajar Dewantara sang bapak Pendidikan Indonesia. Padahal beliau telah menerapkan trilogi pendidikan yang sudah lama dikenal. Jargon tut wuri handayani menjai ikon lambang Dinas Pendidikan bahkan ditempel pada seragam siswa. Jargon tersebut memiliki arti di belakang memberi dorongan. Jargon ini sudah banyak dipraktekkan yaitu banyaknya pendidik memberikan motivasi kepada peserta didik sehingga mereka mampu optimis dalam menjalani kehidupan baik sebelum pembelajaran maupun pasca pembelajaran.

Sebagai pengingat, jargon lainnya adalah ing ngarso sung tuladha (di depan memberikan contoh) dan ing madya mangunkarso (di tengah memberikan atau membangkitkan semangat). Pada fenomena biasa saja kita hanya mampu mempraktekkan tut wuri handayani, dengan memberikan contoh keteladanan yang baik, tapi itu pun belum maksimal apalagi dalam kondisi bencana covid-19 seperti sekarang. Perlu sebuah refleksi konkrit dimana semua dipraktekkan dalam kondisi normal maupun dalam kondisi darurat semacam ini. Jargon tesebut sangatlah mulia dan harus dibumikan sehingga mampu menjadi sebuah semangat baru dalam mendidik dengan landasan kearifan lokal bangsa.

Bertemunya pendidik dan peserta didik pada sistem sekolah atau perkuliahan masih menimbulkan split personality. Split personality dapat diartikan sebagai sebuah fenomena dimana peserta didik mengalami kekagetan karena di bangku Pendidikan mereka disajikan kebaikan-kebaikan yang bersifat teoritis, akan tetapi berbeda dengan yang dihadapi di kehidupan nyata yaitu sesuatu yang bertolak belakang atau bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan tersebut (Makin & Shaleh, 2007). Padahal sebuah institusi pendidikan merupakan kawah candra dimuka untuk menanamkan etika atas distorsi budaya yang marak terjadi.

Jelas sekali, dalam kondisi darurat, siswa kehilangan sosok ing ngarso sung tuladha, atau contoh yang mampu memberikan pandangan-pandangan praksis etika. Para peserta didik umumnya belajar mandiri di rumah dengan pengawasan langsung orang tua, akan teapi apakah ada jaminan yang konkrit bahwa pengawasan tersebut berjalan maksimal? Perlu adanya sebuah tinjuan ulang bagaimana kondisi darurat, tetapi infiltrasi etika masih dapat diperoleh walaupun minim dan terbatas pada pendekatannya. Ditambah lagi, jargon ing madya mangun karso, ketika berada di tengah atau di samping, saling memberikan semangat. Semangat ini dapat berupa pendampingan kepada peserta didik agar tetap optimis dalam menghadapi kondis darurat. 

Selain itu, mereka juga diarahkan untuk memfilter berita-berita hoaks atau berita yang ketika dimunculkan malah menambah beban psikologis sehingga meningkatkan kapasitas stresnya. Selain itu, pendampingan ini dapat berupa kemudahan pendidik untuk memberikan ruang yang luas bagi peserta didik untuk bersama menyelesaikan permasalahan. Permasalahan tersebut apakah terkait dengan proses pembelajaran atau proses lain yang disepakati bersama.

Di satu sisi, sebagai pendidik perlu sesekali memberikan sebuah permainan dimana permainan tersebut akan menjadi trauma healing dengan menyisipkan materi-materi pelajaran. Sebagai contoh, pendidik dapat menggunakan aplikasi kahoot. Aplikasi ini unik dan menyenangkan tanpa mengurangi esensi dari pembelajaran. 

Aplikasi ini tersedia di playstore dan dapat pula dimainkan melalui computer dengan alamat kahoot.com. Memang membutuhkan sebuah usaha dan kreatifitas tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran di tengah kondisi wabah ini. Selain itu, kesulitan yang dialami dari pembelajaran daring adalah kesulitan dalam mengontrol perkembangan kemampuan peserta didik. Kesulitan dalam pengontrolan ini jelas diakibatkan adanya keterbatasan dalam tatap muka. Ditambah lagi, pada kasus pembelajaran daring ini, para pendidik masih kesulitan dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Tujuan pembelajaran ini merupakan tolak ukur pemahaman terhadap pembelajaran yang telah disampaikan. Tujuan pembelajaran ini merupakan sebuah instrumen dan batasan bahwa proses belajar mengajar mampu dijalankan secara optimal dan sesuai target yang ditentukan. Pada fenomena kondisi darurat ini, kesulitan mencapai capaian pembelajaran merupakan permasalahan jamaah yang harus segera dituntaskan. Faktanya, effort atau usaha ketika pembelajaran daring adalah dua kali lebih besar dibanding dengan usaha pembelajaran normal. Mengontrol peserta didik di luar sistem merupakan sebuah tantangan tersendiri yang membutuhkan usaha dan upaya yang sungguh-sungguh.

Sebagai penutup, perlu diketahui memang tidak ada pola pembelajaran yang ideal, semuanya tergantung pada kondisi dan situasi yang terjadi. Terlebih pada saat kondisi wabah seperti sekarang yang mengharuskan proses pembelajaran menggunakan media daring. Semua pola yang diterapkan mempunyai pro dan kontra, tetapi sebagai pendidik yang bijak haruslah mampu mengedepankan banyak kemanfaatan dan mengurangi ketidakmanfaatan. Pola-pola tersebut hendaknya merujuk kepada tujuan pendidikan nasional yang mengedepankan munculnya bangsa yang berkualitas, beradab, mandiri, dan berdaya saing. 

Oleh karena itu, diperlukan sebuah pendekatan pendidikan yang humanistik. Konsep pendidikan humanistik bertujuan untuk menjadikan manusia memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab sebagai individu akan tetapi secara fakta hidup di tengah masyarakat. Dengan demikian, manusia tersebut masih memiliki tanggung jawab moral kepada lingkungan yaitu berupa pengabdian demi kemanfaatan masyarakat (Makin & Shaleh, 2007). Harapannya, selain berfokus pada kegiatan pembelajaran, seorang pendidik dan peserta didik ikut pula berpartispasi dalam kegiatan di masyarakat dalam upaya pencegahan covid-19. Baik menjadi seorang relawan atau hanya membantu melalui donasi, merupakan sebuah tindakan nyata dari aplikasi pendidikan humanistik.

Bangsa yang berkualitas didapatkan dari pendidikan yang berkualitas. Kaum terdidik tidak hanya cerdas secara intelektual akan tetapi kaum terdidik haruslah mempunyai nurani untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai dan aman. Oleh karena itu, moralitas dan intelektualitas bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan sebagai tujuan utama penyelenggaraan pendidikan. 

Di sisi lain, terdapat beberapa benturan image dari sebuah pendidikan. Image yang pertama adalah school as factory. Maksudnya adalah sekolah merupakan metafor dari sebuah pabrik yang memproduksi massal sebuah produk dengan penekanan quality control yang diharapkan pasar. Pimpinan lembaga pendidikan diarahkan sebagai manajer, pendidik diarahkan sebagai karyawan, dan peserta didik dijadikan produk yang harus digerakkan dan dibentuk. 

Di sisi lain, image tersebut bertolak belakang dengan image school as family. Image tersebut mempunyai maksud bahwa sekolah harus melayani peserta didik secara utuh sebagai individu. Image ini mengasumsikan bahwa terdapat hubungan pendidik dan peserta didik merupakan sesuatu yang diutamakan (Yamin, 2009). Image sekolah sebagai factory dan family memang bertentangan, akan tetapi image tersebut masih banyak diterapkan di negara ini atau bahkan banyak juga yang mengakomodir semuanya secara bersamaan.

Selain itu, cita-cita menjadi bangsa yang mandiri adalah dambaan para pendiri bangsa. Bangsa yang mandiri adalah bangsa yang selalu mengedepankan kesehatan dan pendidikan. Sumber daya manusia yang sehat akan menciptakan masyarakat yang sehat dan waras. Lebih lanjut lagi, bangsa yang beradab adalah bangsa yang mampu hidup dan tinggal dalam keberagaman baik itu suku, agama, ras, dan adat secara berdampingan. Oleh karena itu, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini tidak hanya dibutuhkan toleransi, melainkan co-operation (kerjasama) (Kuntowijoyo, 2002). Co-operation merupakan tingkatan yang lebih tinggi dari tolerasni dimana bangsa kita sudah lama mempraktekkannya akan tetapi elit politik masih saja diributkan pada zona toleransi. 

Terakhir adalah bangsa yang berdaya saing tinggi. Hal tersebut didapatkan dari usaha menciptakan Pendidikan yang menekankan pada kemampuan dan inovasi sehingga melahirkan gagasan yang besar dan bermanfaat. Selain itu, adanya semangat membangun Pendidikan yang lebih serius dengan menyeimbangkan soft skill dan hard skill peserta didik sebagai sebuah spirit dalam progress pengembangan diri. Pola-pola inilah yang harusnya segera disadari oleh pendidik dan peserta didik dalam menyikapi pembelajaran daring. 

Kebutuhan akan kreatifitas dalam sharing knowledge dan tekanan untuk selalu mentransfer etika merupakan sebuah keharusan yang tetap dijalankan terutama dalam kondisi wabah seperti sekarang ini. Bila pola ini diterapkan, maka esensi pembelajaran dalam kondisi apapun akan terlaksana dengan baik sesuai tujuan pembelajaran. Akan menjadi lebih baik, bila pola telah ditemukan, kemudian diarsipkan dalam bentuk tulisan atau dokumen sehingga bila sewaktu-waktu terjadi hal yang sama, maka pendidik dan peserta didik telah memiliki panduan dalam pelaksanaan pembelajaran daring.

Daftar pustaka

Darmawan, J A., dan Bonafix, Nunnun. (2011). Perancangan Komunikasi Visual Web Agmes Interaktif “gooclean.com” Guna Menanamkan Budaya Anti Korupsi Sejak dini .Jurnal Humaniora Vol. 2 No.2, 959-967. Hakim, L. (2012). Model Pendidikan Anti Korupsi Dalam Kurikulum Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam, 141-156.

Freire, P. (2000). Pendidikan kaum tertindas. Retrieved from https://books.google.co.id/books?id=O4vwGwAACAAJ

Kuntowijoyo. 2018. Muslim Tanpa Masjid. IRCiSoD: Yogyakarta

Makin, M., & Shaleh, A. Q. (2007). Pendidikan humanistik (konsep, teori, dan aplikasi praksis dalam dunia pendidikan). Retrieved from https://books.google.co.id/books?id=Jj3FtgAACAAJ

Miswanto, & Badrul, M. (2016). Aplikasi Pembelajaran Anti Korupsi BAgi anaka Remaja Berbasis Android. Jurnal Informatika, 117-128.

Nadjib, E. A. (2012). Tuhan pun berpuasa. Retrieved from https://books.google.co.id/books?id=BrDHMgEACAAJ

Rusfi, Andriano., dkk. 2018. Menjadi Ayah Pendidik Peradaban. cetakan kedua. Hijau Borneoku: Balikpapan

Yamin, M. (2009). Menggugat pendidikan Indonesia: belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara. Retrieved from https://books.google.co.id/books?id=JG4OAQAAMAAJ

*Tulisan ini dimuat pada buku Covid-19 Dalam Ragam Tinjauan Perspektif terbitan Mbridge Press Universitas Mercubuana Yogyakarta tahun 2020

Sumber Gambar : https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-01689386/atasi-kendala-belajar-online-siswa-di-kota-bogor-dapat-kuota-gratis-10gb

Link Terkait : https://www.kompasiana.com/uzanmaruzan/5fc47a33d541df39d05cb022/mendefinisikan-ulang-pola-pembelajaran-daring-antara-sharing-knowledge-dan-transfer-etika

Related Post

Bridging Technology for Humanity
Jl. D.I Panjaitan No. 128 Purwokerto 53147, Jawa Tengah – Indonesia

Telp : 0281-641629

WA  : 0812-2831-9222

Email : [email protected]

Website Official : ittelkom-pwt.ac.id

Website PMB : pmb.ittelkom-pwt.ac.id

Negara : Indonesia

Telp

WA

Email

Website Official

Website PMB

Negara

Fakultas Teknik Telekomunikasi dan Elektro (FTTE)

Fakultas Informatika (FIF)

Fakultas Rekayasa Industri dan Desain (FRID)

Bridging Technology for Humanity
Jl. D.I Panjaitan No. 128 Purwokerto 53147, Jawa Tengah – Indonesia

Telp

WA

Email

Website Official

Website PMB

Negara

Fakultas Teknik Telekomunikasi dan Elektro (FTTE)

Fakultas Informatika (FIF)

Fakultas Rekayasa Industri dan Desain (FRID)

Copyright ©2024 All Rights Reserved By PMB Institut Teknologi Telkom Purwokerto